Oleh : Aresyama Hein Temmar, S.AP, M.AP
Tahun 2024 menjadi goresan historis demokrasi elektoral di Kepulaaun Tanimbar dengan pertarungan merebut 25 kursi panas. Berbagai strategi masif di konspirasikan untuk menjadi pemenang berbekal negosiasi tanpa kompromi etika. Doktrin fundamentalisme demokrasi diruntuhkan (inferioritas) oleh para penguasa (oligarki lokal) dan kapitalis dengan membangun sistem kekuasaan primordial, feodalisme, imperalis, dan bigotri. Parlemen Tanimbar hampir bermuka (dua) baru, dengan eksistensi anggota yang sebagian dari hasil transaksional (money politics) dan sebagian dari intimidasi plutokrasi serta patrenalistik. Rakyat sendiri menyaksikan dramaturgi politik calon yang dipilih (dan terpilih) sampai lelap dalam kebodohan. Ending-nya parlemen menggantikan jas baru, sayangnya sebagian kusam dan nodanya sudah membandel. Hampir yang duduk terprobabilitas menunjukan prestasi dalam pembangunan tetapi proposisi residivis moral dalam ekosistem politik pemerintahan yang bermodal proyek dan proteksi kepentingan. Sehingga kedepan performance-nya (attitude) dipertanyakan ketika konspirasi (mafiosi) selama ini hanya membuah praktik kolusi yang tidak akuntabel dan kapabel.Demokrasi di cabik-cabik dengan berbagai narasi dan analogi liberalis yang manipulatif dan oportunis. Sehingga sebagian yang terpilih memungkinkan berpotensi mengkampanyekan isi hati mengenai strategi pembangunan kedepan, tetapi hanya berkelakar spekulatif serta berbobot sampah dengan berdromologi kebohongan yang simpatik. Entry poinnya adalah pembangunan kedepan mengalami liabilitas dan skeptis karena prime mover developmentalisme tersingkir dengan konspirasi penguasa (eksekutif) dan petarung yang lincah (caleg). Tujuan mereka (oposisi) di seberang adalah siap memotong setelah itu di cincang, serta menginjak setelah itu menyeret kembali. Dengan demikian, maka ini bukanlah narasi pesimisme yang disampaikan tetapi realitas politik kontekstual yang sudah terkontamimasi oleh hegemoni kekuasaan sistemik dan masif yang dikonstruktifkan. Apakah butuh resistensi kembali untuk melawan rezim yang berkuasa?